Thursday, 9 February 2012

Capello, Akhir Sebuah Pernikahan Tanpa Cinta

Jakarta - Akhirnya Fabio Capello mundur dari jabatannya sebagai pelatih tim Inggris. Bukan sesuatu yang mengejutkan. Sejak awal orang sudah mengatakan, "perkawinan" Fabio Capello dan Asosiasi sepakbola Inggris, FA, tidaklah berdasar cinta tetapi marriage of convenience -- perkawinan berdasar kepentingan bersama.

Capello, yang sudah meraih segalanya di tingkat klub, ingin meninggalkan goresan sukses di tingkat negara untuk CV-nya, sementara FA tentu saja ingin membangkitkan prestasi Inggris. Capello tidak pernah tertarik dengan sepakbola Inggris, mencintai Inggris atau berusaha mencintai Inggris. Ia juga konon dikatakan tak mempelajari "psyche" persepakbolaan Inggris maupun budaya yang mendasari cara berpikir orang Inggris. Setelah empat tahun memegang tim nasional, kemampuan berbahasa Inggris Capello tak pernah beranjak lebih baik dari seratus kata yang konon dikuasainya.

FA konon juga tak membantu atau mendorong Capello untuk mengerti cara berpikir orang Inggris. Mereka semata-mata hanya menuntut hasil di lapangan seolah cara bermain tak terkait sama sekali dengan apa yang terjadi di luar lapangan. Yang penting sudah membayar mahal.

Kasus John Terry yang menjadi pemicu pengunduran diri Capello adalah contoh baik untuk memberi gambaran jurang yang terbentang antara Capello dan FA ini. Bagi rakyat multikultural Inggris kasus kriminal tuduhan pelecehan rasial yang dilakukan Terry kepada Anton Ferdinand adalah aib besar. FA, salah satu asosiasi sepakbola yang paling getol mengkampanyekan tindakan anti rasial di dunia internasional, di bawah tekanan politik mengambil langkah pre-emptive dengan mencopot posisi kapten Terry.

Capello mengritik FA yang dianggapnya tidak menghormati praduga tak bersalah sebelum ada keputusan pengadilan. Disinilah para pengamat sepakbola Inggris menggarisbawahi akan ketidakmengertian Capello mengenai budaya dan politik Inggris. Bahwa tuduhan pelecehan rasial bisa masuk tindakan kriminal serius apalagi kalau dilakukan figur publik yang mewakili Inggris di dunia internasional. Masih mending, tambah para pengamat sepakbola Inggris, Terry masih diperbolehkan membela tim nasional. Seharusnya ia sama sekali tidak boleh bermain untuk tim nasional hingga ada keputusan pengadilan yang jelas.

Berdasar kontrak kerja antara FA dan Capello ternyata memang FA berhak untuk mengambil langkah-langkah serupa. Capello mengerti itu. Apalagi ia pernah malang melintang di Italia dan Spanyol, di mana tindakan serupa dengan derajat yang berbeda lebih lazim lagi terjadi. Terlebih lagi ia pernah melatih AC Milan dan Real Madrid, dua klub dengan campur tangan yang luar biasa dari pemilik maupun dewan direktur terhadap apa yang terjadi di lapangan. Yang membuat ia marah adalah bahwa ia tidak diberitahu terlebih dahulu ataupun diajak konsultasi oleh FA. Lagi-lagi ini menunjukkan ketidakharmonisan antara kedua belah pihak.

Layaknya semua perceraian, tidaklah terjadi begitu saja. Ada proses perlahan yang menggerogoti perkawinan sebelum akhirnya betul-betul putus. Kasus Terry hanyalah yang paling akhir saja.

Pencopotan ban kapten Terry sebelum kasus tuduhan tindakan rasis ini juga bermasalah. FA menekan Capello untuk mencopot Terry ketika ia diketahui berselingkuh dengan bekas pacar rekan satu timnya di Chelsea maupun tim nasional, Wayne Bridge. Capello saat itu ingin mempertahankan posisi Terry karena menganggap perselingkuhan itu perilaku pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan sepakbola.

Ketika Rio Ferdinand dan Steven Gerrard yang menggantikan posisi Terry terus menerus dicedera, Capello mengembalikan ban kapten ke Terry. FA tidak setuju tetapi akhirnya mengalah.

Memilih markas untuk turnamen pun FA dan Capello berseberangan. Ketika Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, Capello memilih markas yang terpencil di Rustenburg dan dengan ketat membatasi akses sosial maupun wartawan. Ini sebuah konsep pemencilan diri khas Italia, ritiro, yang sangat asing bagi dunia persepakbolaan Inggris. FA mengalah. Tetapi kemudian membalas dengan menekan Capello untuk memilih markas yang lebih terbuka aksesnya untuk Piala Eropa Polandia dan Ukraina 2012 ini, yaitu di Krakow. Ganti Capello yang mengalah setelah konsep ritiro yang ia lakukan di Afrika Selatan gagal membawa sukses Inggris.

Masih banyak lagi persoalan kecil-kecil yang membuat hubungan FA dan Capello tidak serasi. Persoalan-persoalan kecil yang membuat pintu komunikasi di antara keduanya semakin sedikit dan saling mendiamkan. Betul-betul perkawinan yang memburuk.

Sebenarnya prestasi Inggris kalau dilihat dari sisi prosentase kemenangan sangatlah baik, terlepas dari kegagalan Capello meraih prestasi bagus di Piala Dunia 2010. Ia memimpin Inggris dalam 42 pertandingan dengan 28 kemenangan, delapan kali seri dan hanya enam kekalahan, dengan prosentase kemenangan 66,7%. Ini merupakan salah satu prosentase terbaik dari manajer Inggris sepanjang masa.

Tetapi seperti reaksi media masa Italia atas pengunduran diri Capello, persoalan John Terry hanyalah alasan saja. Hubungan FA dan Capello sudah tidak lagi harmonis dan tinggal menunggu waktu untuk bubar. Kasus Terry memberi momentum bagi Capello, dan juga FA, untuk mengakhiri hubungan itu.

"Sepakbola Inggris mungkin saja memang enak dilihat," tulis harian Italia bergengsi Corriere della Sera, "tetapi di bawah permukaan, di tribun stadion, di ruang ganti pemain, tidak jauh bedanya dengan dunia persepakbolaan di Eropa daratan. Sebuah opera sabun yang menakjubkan." Dan hubungan perkawinan dalam opera sabun, seperti diketahui selalu saja punya banyak persoalan. Semakin digosok semakin berbusa. Persis seperti perkawinan FA dan Fabio Capello, yang ramai, penuh persoalan dan akhirnya bercerai.


=========


Penulis adalah wartawan detik.com dan saat ini tinggal di London.




( din / mrp )

No comments:

Post a Comment